Timnas Indonesia sudah gagal lolos ke Piala Dunia 2026. Pembinaan usia muda di tanah air pun menjadi sorotan media Belanda.
Pada pekan lalu, Indonesia dipastikan gagal lolos ke Piala Dunia 2026. Tim Merah-Putih kalah 2-3 dari Arab Saudi dan tumbang 0-1 melawan Irak hingga harus mengubur mimpi berlaga di pesta sepakbola sejagad tahun depan.
Indonesia mencetak sejarah dengan menjadi negara ASEAN pertama yang lolos ke babak keempat. Kini, Indonesia diisi oleh banyak pemain naturalisasi.
Sebagai gambarannya, dalam starting XI Indonesia melawan Irak, cuma ada dua orang pemain yang lahir dari kompetisi lokal. Ricky Kambuaya dan Rizky Ridho merupakan pemain itu.
Akibat dari kegagalan itu sudah jelas. Patrick Kluivert dan semua staf pelatih asal Belanda sudah meninggalkan posnya sebagai juru taktik Timnas Indonesia.
Media Belanda, NOS, yang menyorot pembinaan usia muda di Indonesia. Mereka membandingkan dengan penempaan yang dilakukan di Negeri Kincir Angin.
“Saat Frenkie de Jong berusia 12 tahun, ada banyak pelatih usia muda profesional yang bekerja pada talentanya setiap hari selama bertahun-tahun. Sementara pemain muda Indonesia, Andi Fatih, dia hanya mempunyai kakeknya untuk membantunya, menendang bola dengannya di lapangan dekat rumahnya di Jakarta,” kata NOS membuka tulisannya.
Banyaknya pemain naturalisasi di tubuh Timnas, dipertanyakan oleh NOS. Memang, naturalisasi tak cuma dilakukan PSSI di level Timnas senior. Ada juga di kelompok umur U-17, U-23, juga Timnas putri.
NOS lantas mempertanyakan bagaimana sepakbola Indonesia akan bisa mengembangkan sepakbola dengan lebih mandiri dengan memperbesar peran pelatih dan pemain lokal. Cerita Andi Fatih yang digarisbawahi, seorang pemain muda di Jakarta cuma berlatih dengan kakeknya, kurang mendapat sentuhan pelatih profesional usia muda.
Pelatih asal Belanda, Edwin Klok, yang kini bekerja untuk Persis Solo sebagai pemandu bakat dan peran teknik, menjelaskan kepada NOS mengenai kondisi pembinaan usia muda di Indonesia.
“Beberapa akademi pemain muda di sini hampir tidak mampu memenuhi kebutuhan finansial. Ada klub profesional yang mewajibkan orangtua harus membayar agar anaknya bisa berpartisipasi dalam sebuah program. Begitulah usaha mereka mencoba untuk menutupi biaya operasional,” kata Klok dalam wawancara dengan NOS.
“Anda tak bisa membandingkan Indonesia dengan negara lain, seperti Belanda. Sepakbola amatir tidak ada. Ada turnamen kecil, tapi tidak ada piramida sepakbola yang lengkap.”
“Pemain yang terlambat menjadi pesepakbola kurang fondasi. Banyak talenta Indonesia yang saya lihat mempunyai kemampuan dribble yang bagus, tapi mereka tidak tahu alur bermain dan kurang keahlian taktis.”
“Pemain harus ditemukan lebih awal dan dikembangkan di klub dengan visi jelas. Lantas, anda mempunyai kesempatan emas di sini –dengan ratusan juta anak-anak,” kata dia menambahkan.
Fatih adalah salah satu bocah yang beruntung. Dia mendapat tempaan dari Asiana Soccer School, hingga bisa menembus skuad Timnas U-17 yang akan berlaga di Piala Dunia U-17 2025 bulan depan. Asiana Soccer School merupakan salah satu klub yang mempunyai fasilitas bagus dan pelatih yang mumpuni juga.
“Pertama-tama, banyak pemain muda di sini bahkan tak berani bermimpi besar. Mereka bahkan tak bisa membayangkan bisa mencapai level tertinggi,” kata pelatih Asiana Soccer School, Astino Taufik.
“Dan kami belum mempunyai jaringan pencari bakat yang luas di sini, yang menemukan bakat. Lalu, bagaimana anda menentukan pemain mana yang tampil konsisten dan kepada siapa anda menginvestasikan waktu anda?”
“Kami beruntung, dengan lapangan dan fasilitas yang bagus. Malangnya itu tak bisa terjadi pada banyak klub lain.” kata dia menambahkan.